Saturday, September 20, 2008

Goa Maria Tritis, dari keangkeran ke kedamaian

pakansi goa maria tritis, jalan-jalanSebelum 1974, goa ini sangat sepi. Selain tempatnya terpencil, Goa Tritis yang berada di Kecamatan Paliyan ini semula dikenal sebagai goa yang angker.

Kalaupun ada yang datang, biasanya untuk keperluan mistik seperti bertapa.

Namun saat ini, Goa Tritis berubah total. Dari semula goa yang angker dan dihindari orang, kini tempat ini justru didatangi ribuan umat Katolik. Goa ini juga menjadi tempat orang mencari kedamaian. Terlebih ketika Mei dan Oktober yang bagi umat Katolik disebut Bulan Maria. Pada bulan-bulan ini Paroki Wonosari menjadwalkan tiap Minggu diselenggarakan ibadah ekaristi didahului prosesi jalan salib. Selama Mei 2008 lalu Goa Maria Tritis ini dikunjungi tidak kurang dari 25 ribu umat Katolik dari seluruh Indonesia.

Goa Maria Tritis, pertama dikenal umat Katolik sekitar tahun 1974. Pertama kali yang menemukan goa ini adalah seorang siswa SD Sanjaya Giring yang kemudian dilaporkan kepada Romo (pastor) Al. Hardjosudarmo SJ yang saat itu kebingungan mencari tempat untuk merayakan hari natal. Tempat ini akhirnya mendapat pemberkatan dari Uskup Agung Kardinal Darmojuwono SJ. Sejak mendapat pemberkatan itulah, Goa Tritis, banyak dikunjungi umat Katolik dari berbagai penjuru Nusantara.

Goa yang juga menjadi taman lourdes-nya Paroki Wonosari ini nampak masih asri dengan tetesan air dari langit-langit goa yang mengandung air kapur dan memunculkan stalaktit dan stalagmit yang memberi daya tarik tersendiri.

Goa Maria Tritis ini terletak di Dustin Bulu, desa Giring Kecamatan Paliyan Gunungkidul sekitar 17 kilometer arah selatan dari pusat ibu kota Kabupaten Wonosari atau sekitar 7 kilometer ke arah utara dari pantai Baron. Sampai sekarang belum ada jalur angkutan umum yang mencapai Goa Maria Tritis. Untuk menuju ke sana, dari kota Wonosari mengambil arah Paliyan. Sampai pertigaan Giring belok sekitar 7 kilometer.

Friday, September 19, 2008

Melacak jejak Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang punya nama asli Raden Ajeng Kustiyah Retna Edi. Dia adalah putri bungsu dari Bupati Serang, Panembahan Natapraja.

Meski merupakan putra bangsawan, namun sejak kecil Nyi Ageng Serang dikenal dekat dengan rakyat. Setelah dewasa dia juga tampil sebagai salah satu panglima perang melawan penjajah. Semangatnya untuk bangkit selain untuk membela rakyat, juga dipicu kematian kakaknya saat membela Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwana I yang dibantu Belanda.

Setelah Perjanjian Giyanti, Nyi Ageng Serang pindah ke Jogja bersama Pangeran Mangkubumi. Namun perjuangan melawan pasukan penjajah terus dia lanjutkan. Saat itu Nyi Ageng Serang memimpin pasukan yang bernama Pasukan Siluman dengan keahlian Serang yang cepat hingga membuat pasukan musuh kerap kocar-kacir. Pasukan ini juga menjadi salah satu pasukan yang sangat diperhitungan Belanda waktu itu.

Ketika Perang Diponegoro berkobar pada 1825, Nyi Ageng Serang juga menjadi salah satu panglima perangnya. Pasukannya semakin besar karena dibantu oleh kalangan bawah, khususnya petani yang banyak bergabung dengan pasukannya. Nyi Ageng Serang juga dikenal sebagai ahli siasat dan. negosiasi. Nyi Ageng Serang meninggal karena usia yang sudah lanjut dan dimakamkan di Dusun Beku, Pagerarjo, Kalibawang, Kulonprogo. Makam ini terletak di atas bukit kurang lebih 6 km dari jalan Dekso-Muntilan. Jarak dari Yogyakarta ± 32 km, dari kota Wates ± 30 km.

Makam ini dipugar pada 1983 dengan bangunan berbentuk joglo. Pada saat dipugar, makam suami, ibu, cucu dan yang telah dimakamkan di desa Nglorong, Kabupaten Sragen di pindahkan di tempat ini.

Selain makam Nyi Ageng Serang, di Kulonprogo, juga dibangun monumen Nyi Ageng Serang. Monumen ini menggambarkan sosok Nyi Ageng Serang sedang memimpin pasukannya sambil mengendarai kuda.

Thursday, September 18, 2008

Gereja Ganjuran, kedamaian Yesus dalam nuansa Jawa

pakansi gereja ganjuran, jalan-jalanDua bersaudara keturunan Belanda, Joseph Smutzer dan Julius Smutzer pada 1924 memprakarsai untuk membangun sebuah gereja di Ganjuran. Keberadaan dua orang Belanda ini tidak lepas dengan keberadaan pabrik Gula Gondang Lipuro yang ada di daerah itu sejak sekitar 1912. Pembangunan gereja dirancang oleh arsitek Belanda J Yh van Oyen

Setelah gereja selesai, selan¬jutnya pada sekitar 1927 dibangun Candi Hati Kudus Yesus. Yang unik, dalam candi ini terdapat relief patung Kristus dengan pakaian Jawa selain juga ada relief bunga teratai. Bukan hanya dalam hal relief, dalam kegiatan keagamaan yang dilakukan di gereja juga selalu bernuansa Jawa baik dalam bahasa maupun dalam tata cara berpakaian.

Kompleks Gereja Ganjuran secara jelas terlihat merupakan bangunan dengan penggabungan beberapa unsur budaya seperti Jawa, Eropa serta agama Hindu. Gaya Eropa dapat ditemui pada bentuk bangunan berupa salib bila dilihat dari udara, sementara gaya Jawa bisa dilihat pada atap yang berbentuk tajug, bisa digunakan sebagai atap tempat ibadah. Atap itu disokong oleh empat tiang kayu jati, melambangkan empat penulis Injil, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.

Altar juga terlihat bernuansa Jawa. Patung Yesus dan Banda Maria yang tengah menggendong putranya diwujudkan sedang berpakaian Jawa. Yesus digambarkan memiliki rarnbut mirip seorang pendeta Hindu. Gereja Ganjuran juga memiliki air suci yang berada di sekitar candi. Air ini dipercaya bisa menyembuhkan sejumlah penyakit.

Gereja yang mempunyai nama lengkap Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran ini terletak di Desa Ganjuran, Bambanglipuro, Bantul atau sekitar 20 km arah SelatanJogja. Daerah Ganjuran, dikenal sejak lama dalam sejarah Mataram. Dalam Babad tanah Jawa, Ganjuran adalah dulunya merupakan Alas Mentaok yang dinamakan Lipuro. Disebutkan pula dulu. Panembahan Senopati pernah bertapa di tempat ini. Tempat ini juga pemah direncanakan menjadi pusat Kerajaan Mataram Namu rencana itu batal.

Perubahan nama menjadi Ganjuran sendiri berkaitan dengan kisah percintaan Ki Ageng Mangir dan Rara Pembayun yang diasingkan oleh Mataram Kisah cinta dua orang tersebut yang kemudian mengilhami penciptaan tembang Kala Ganjur, berarti tali pengikat dasar manusia dalam mengarungi kehidupan bersama, Dan tembang itulah kemudian mananya menjadi Ganjuran.