Monday, June 30, 2008

Museum Kapal Samudraraksa

Kapal Samudraraksa adalah sebuah kapal kayu yang dibuat pada tahun 2003 lalu dan sukses mengarungi samodra dengan menempuh jalur Jakarta-Afrika sebelum kemudian terdampar cukup lama di Ghana. Kata Samudraraksa mempunyai arti pelindung lautan.

Kapal itu dibangun dengan menggunakan bahan seluruhnya dari kayu oleh As’ad Abdullah yang berusia 69 tahun di pulau Pagerungan Kecil, kabupaten Sumenep, Madura. Pembuatannya dengan menggunakan teknologi tradisional dan dibantu sejumlah arsitek luar negeri. Awalnya, arsitek luar negeri sempat menilai kapal ini tidak akan bisa mengapung karena cara tradisinal As’ad. Baru setelah kapal ini bisa dioperasikan mereka baru percaya.

Pembuatan kapal ini diinspirasi oleh Philip Beale, mantan anggota angkatan laut Inggris yang berkunjung ke Borobudur pada 8 November 1982. saat melihat relief kapal di candi ini, dia puny aide untuk mecoba membuat kapal serupa dan melakukan ekspedisi.
Pada tanggal 15 Agustus 2003 kapal tersebut memulai ekspedisi jalur Kayu Manis yang menempuh Jakarta, Madagaskar dan Afrika. Pada Desember 2003 kapal ini mengakhiri eskpedisinya di Ghana. Karena sesuatu hal kapal tersebut akhirnya berhenti di Ghana. Dan setelah tujuh bulan di sana kemudian dibawa ke Indonesia dengan dipotong-potong terlebih dahulu.

Setelah dibawa kembali ke Candi Borobudur, kapal dengan ukuran panjang 18,29 meter, lebar 4,25 meter dan tinggi badan 2,25 meter tersebut kemudian dirangkai kembali. Selanjutnya diletakkan di museum yang dibuat secara khusus di komplek Candi Borobudur. Keberhasilan ekspedisi kapal ini membuktikan pada abad ke-8 orang sudah bisa membuat kapal dengan kekuatan yang hebat untuk mengarungi Samodra.

Dalam museum ini, anda dapat melihat betapa kokohnya kapal yang dibuat dengan cara tradisional. Anda juga dapat melihat benda-benda yang pernah digunakan pada saat melakukan pelayaran. Misalnya saja: peralatan memasak, peralatan rumah tanggasehari-hari, buku, CD dan Kaset. Bagi awak kapal buku menjadi pembunuh kejenuhan.

Kapal Samudraraksa terbagi menjadi 3 bagian, yaitu depan (kabin tempat tidur), tengah (ruang makan dan navigasi) dan buritan (ruang kemudi dan dapur). Dalam pelayarannya Kapal Samudraraksa dilengkapi dengan: 2 layar tanjak 2 buah kemudi cadik ganda dengan kecepatan 3 – 10 knot.

Sunday, June 29, 2008

Ambarketawang, ‘Istana’ Pertama Keraton Ngayogyakarta

Keberadaan Keraton Mataram Jogja tidak lepas dari Perjanjian Giyanti. Perjanjian yang ditandangani pada 13 Februari 1755 oleh Gubernur Jendral Jacob Mossel itu menyebutkan Negara Mataram dibagi dua. Setengah masih menjadi hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi hak Pangeran Mangkubumi atau yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram Jogja adalah Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah Mancanegara yaitu Madiun, Magetan, Cirebon, separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Hamengku Buwono I segera menetapkan Mataram yang ada didalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta. Ketetapan ini diumumkan pada 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah hutan yang disebut Beringin, tepatnya di sebuah desa kecil bernama Pachetokan. Di tempat ini sebenarnya telah ada pesanggrahan Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhan Paku Buwono II yang namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabat hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Saat kondisi pesanggrahan Ambarketawang sudah banyak yang rusak. Sejumlah tembok sudah roboh tidak terawat. Juga terdapat sebidang areal kosong yang merupakan pintu gerbang menuju bagian dalam pesanggrahan. Disisi selatan pekarangan bekas alun-alun pesanggrahan.

Sampai saat ini pesanggrahan Ambarketawang masih secara rutin dijadikan tempat upacara Bekakak yang dilaksanakan setiap bulan Jawa Sapar. Penyelenggraan upacara saparan Gamping bertujuan untuk menghormati arwah Kiai dan Nyai Wirosuto sekeluarga. Kiai Wirosuto adalah abdi dalem penagsong payung yang melindungi Hamengku Buwono I yang dianggap sebagai cikal bakal penduduk Gamping. Dari arah kota Jogja, pesanggrahan ini bisa dicapai dengan melalui jalan Wates. Sesampainya di Pasar Gamping lantas berbelok ke kiri. Dari tempat ini sudah ada petunjuk arah menuju peanggrahan.

Saturday, June 28, 2008

Si Sebatangkara Banyu Nibo

Nama candi ini sebenarnya Banyu Nibo yang berarti air menetes. Namun karma lokasinya yang terpencil sendirian ditengah sawah orang kemudian menyebutnya dengan “Si Sebatangkara Banyu Nibo”. Candi ini terletak di sebelah selatan desa Cepit, kelurahan Bokoharjo, kecamatan Prambanan, kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Sejumlah sumber menyebutkan candi ini ditemukan dalam keadaan runtuh dan mulai diteliti dan digali mulai tahun 1940. Susunan bangunan Candi Banyu Nibo belum dapat diketahui secara pasti. Dari bagian-bagian yang sudah tampak dapat diketahui bahwa Candi Banyu Nibo terdiri atas satu candi induk, menghadap ke barat, dikelilingi oleh enam Candi Perwara dalam bentuk stupa-stupa yang disusun berderet di selatan dan timur Candi Induk. Kaki candi yang mempunyai ketinggian 2,5 meter itu dibangun di atas lantai batu. Pada sisi barat kaki candi terdapat tangga masuk. Pada masing-masing sudut kaki candi dan dibagian tengah masing-masing sisi kaki candinya (kecuali sisi sebelah barat), terdapat hiasan berupa “Jaladwara”.

Candi Banyu Nibo termasuk bangunan suci Budha yang cukup kaya ornamen. Hamper pada setiap bagian candi diisi oleh bermacam-macam hiasan dan relief, meskipun bagian yang satu dengan yang lain sering ditemukan motif hiasan yang sama. Candi ini dapat dicapai dengan kendaraan umum (kopades) dari simpang tiga jalan raya Yogya – Solo, pertigaan Pasar Prambanan, apabila menggunakan kendaraan pribadi dapat langsung ke lokasi dengan mengambill arah ke selatan (arah Piyungan) hingga tiba di komplek SKSD Palapa DIY. Perjalanan selanjutnya dilakukan dengan berjalan kearah timur sejauh kurang lebih 1 km.

Friday, June 27, 2008

Puncak Suroloyo, Keindahan berselimut Mitos

Puncak Suroloyo merupakan bukit tertinggi di kawasan pegunungan Menoreh yang terletak di kabupaten Kulonprogo. Selain memiliki pemandangan yang indah, tempat ini juga memiliki berbagai cerita dan mitos yang cukup kuat.

Di daerah dengan ketinggian sekitar 1.100 meter diatas permukaan air laut ini, orang bisa menyaksikan bentangan alam yang begitu indah. Jika cuaca cerah, biasanya pada pagi hari, orang bisa memandang empat gunung besar di jawa yakni Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro. Dari tempat ini puncak Candi Borobudur yang berada di Magelang juga bisa dilihat dengan jelas.

Tempat ini juga mempunyai kaitan sejarah dengan Kerajaan Mataram Islam. Dalam Kitab Cabolek yang ditulis Ngabehi Yasadipura pada sekitar abad ke-18 menyebutkan, suatu hari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang kala itu masih bernama Mas Rangsang mendapat wangsit agar berjalan dari Keraton Kotagede kearah barat. Petunjuk itupun diikuti hingga dia sampai di puncak Suroloyo ini. Karena sudah menempuhjarak sekitar 40 km, Mas Rangsang merasa lelah dan tertidur di tempat ini. Pada saat itulah, Rangsang kembali menerima wangsit agar membangun tapa di tempat dia berhenti. Ini dilakukan sebagai syarat agar dia bisa menjadi penguasa yang adil dan bijaksana.

Selain itu, puncak ini juga diselimuti mitos sebagai pusat atau titik tengah Pulau Jawa. Sebagian masyarakat Jawa percaya, jika ditarik lurus dari utara ke selatan, serta dari barat ke timur di atas pulau jawa, maka akan bertemudi puncak Suroloyo.

Puncak Suroloyo terletak di dusun Keceme, Gerbosari, kecamatan Samigaluh, Kulonprogo. Ada dua jalur untuk bisa mencapai tempat ini yakni jalan Godean – Sentolo – Kalibawang dan dari jalan Magelang - Pasar Muntilan – Kalibawang. Jalur menuju tempat ini cukup sulit karena penuh tanjakan dan berbelok-belok. Sampai saat ini daerah ini memang hanya bisa dicapai dengan kendaraan pribadi saja.

Di puncak ini terdapat tiga gardu pandang yang mempunyai nama sendiri-sendiri yakni Suroloyo, Sariloyo dan Kaendran.

Jika ingin berkunjung ke tempat ini, waktu terbaik adalah ketika matahari terbit sampai sekitar pukul 09.00 WIB. Pada saat itu pemandangan terlihat bersih dan jelas. Karena lokasi yang jauh, sebagian orang memilih untuk menginap di tempat ini agar bisa menikmati pemandangan indah Suroloyo. Keep Enjoy

Thursday, June 26, 2008

Keindahan Kepakan Sayap Blekok dan Kuntul

vacancy yogyakarta Keindahan Kepakan Sayap Blekok dan Kuntul jalan-jalan ke jogjakartaDesa Ketingan terletak di Mlati, Sleman. Di tempat ini pengunjung bisa menyaksikan ribuan burung Blekok (Ardeola speciosa) dan Kuntul (Bubulcus ibis) silih berganti terbang mengitari atas rumah-rumah penduduk.

Di pagi hari, sebagian dari burung-burung itu secara bergerombol membentuk barisan terbang kea rah barat dan selatan menjauhi Dusun Ketingan untuk mencari makan. Dan lainnya tetap tinggal di pepohonan yang rimbun untuk menjaga anak-anak mereka yang baru saja lahir.

Di antara burung-burung itu, beberapa turun ke tanah berebut cacing atau makanan lain dengan ayam-ayam piaraan warga. Sesekali pula burung itu mengambil ranting pohon yang jatuh di tanah lalu membawanya ke atas untuk dibikin sarang. Mereka seolah tidak peduli dengan aktivitas wrga yang pagi itu mulai bekerja pula.

Atas dukungan penuh Pemkab Sleman serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi DIY dicanangkanlah Dusun Ketingan sebagai desa wisata. Di dusun itu, burung kuntul dan blekok dilindungi dari tindakan yang dapat menurunkan jumlah populasi, dan saat ini diperkirakan jumlahnya mencapai 40.000 ekor.

Semenjak menjadi desa wisata, dusun Ketingan tak pernah sepi dari wisatawan, terutama jika musim liburan. Mereka yang datang kebanyakan siswa-siswa sekolah dari Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lainnya.

Tak jarang pula turis asing menginap di situ. Tapi biasanya mereka datang sekitar Desember karena mereka mengamati burung-burung itu dimasa musim kawin.

Setiap tamu jika berwisata di Dusun Ketingan hanya ditarik Rp 50.000/hari. Biaya itu sudah termasuk tidur dan makan. Dipagi hari para tamu bisa melihat burung-burung Kuntul dan Blekok terbang meninggalkan Dusun Ketingan disamping menonton burung-burng yang lainnya turun ke tanah berebut makan dengan ayam piaraan penduduk.

Sore hari, dengan berjalan kearah timur sekitar 200 meter, dipinggir hamparan sawah yang luas, para wisatawan bisa melihat burung-burung kuntul dan blekok datang secara bergelombang setelah seharian mencari makan.

Wednesday, June 25, 2008

Melacak Jejak Sultan Agung

vacancy yogyakarta melacak jejak sultan agung sitihinggil Keraton Mataram Islam Kerto pakansi jogjakartaSultan Agung Hanyokrokusumo, atau yang lebih dikenal dengan Sultan Agung merupakan salah satu tokoh besar yang pernah dimiliki negeri ini. Pada masanya, Kerajaan Mataram Islam mencapai masa keemasaan. Raja Mataram Islam ke-3 ini juga dikenal dengan tindakan heroic dengan penyerbuan ke Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Langsung ke basisnya yang berkedudukan di Batavia, saat ini Jakarta.

Namun sayang, nyaris tidak ada peninggalan secara fisik yang ditinggalkan Sultan Agung. Berbeda dengan Keraton Mataram di Kotagede yang lebih tua, justru ada banyak peninggalan fisik yang masih bisa dilihat jejaknya. Meski dari sisi budaya banyak hal yang ditinggalkan Sultan Agung seperti akulturasi unsur-unsur kebudayaan Jawa dengan Hindu dan Islam seperti Garebeg, pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing serta menyamakan penanggalan Jawa dengan penanggalan Arab.

Penggalian tim arkeologi Dinas Kebudayaan DIY, di situs Lemah Dhuwur di Kerto, Pleret, Bantul, sekitar 10 km selatan Jogja sedikit menemukan jejak raja yang berkuasa pada tahun 1613 – 1645 itu. Penggalian di lahan seluas 0,5 hektar sejak awal Mei 2007 berhasil menemukan tatanan batu andesit membentuk tangga. Analisa sementara, bangunan yang sedang digali ini dulunya merupakan Sitihinggil Keraton Mataram Islam Kerto.

Keraton Mataram pindah dari Kotagede ke Pleret pada masa Sultan Agung, setelah dia menggantikan Mas Jolang atau Panembahan Sedo Krapyak. Di bawah pemerintahan Sultan Agung yang memiliki nama kecil Mas Rangsang ini, Mataram mengalami masa kejayaan. Pada tahun 1681 Keraton Mataram kemudian dipindahkan ke Kartosuro oleh Amangkurat II, cucu Sultan Agung yang memerintah pada tahun 1677 – 1703.

Belum jelas penyebab kepindahan keratin ini, kemungkinan rusaknya keratin karena perang Trunojoyo yang terjadi sejak Amangkurat I. Amangkurat II dengan bantuan VOC berhasil mengalahkan Trunojoyo dengan kompensasi harus menggadaikan pelabuhan Semarang, dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang kepada VOC. Melalui Perjanjian Giyanti pada 1755 Mataram Islam kemudian dibagi menjadi dua yakni Jogja dan Solo.

Penggalian situs ini dilakukan berdasarkan catatan harian seorang Belanda bernama Jan Vos, dia menyebutkan pada sekitar tahun 1624 dirinya pernah berkunjung ke Kerajaan MAtaram Islam di bawah pimpinan Sultan Agung yang berada di Charta atau Kerto. Dalam catatan tersebut dia menggambarkan kerjaan yang dia kunjungi sangat besar dan megah.

Situs Pleret terletak di kabupaten Bantul. Untuk mencapai daerah ini bisa dengan menggunakan angkutan umum jurusan Jogja-Imogiri. Berhenti di perempatan Pleret dan berjalan kearah Timur.

Tuesday, June 24, 2008

Pantai Siung, Surga Para Petualang


Pantai Siung terletak di kawasan desa Purwodadi kecamatan Tepus, kabupaten Gunungkidul. Dengan ratusan tebing curam, kawasan ini seolah menjadi surga bagi para petualang, khususnya yang gemar melakukan panjat tebing.

Sebagai pendukung kegiatan panjat tebing, di wilayah pantai ini juga terdapat bumi perkemahan yang berada di sisi timur pantai. Pendatang yang menginap juga diperbolehkan menyalakan api unggun dengan syarat tetap menjaga lingkungan. Di tempat ini, pengunjung juga bisa menikmati ikan baker yang dibeli langsung dari nelayan yang pulang melaut.

Pantai Siung juga merupakan salah satu habitat penyu. Jika beruntung, pengunjung bisa menyaksikan penyu naik ke daratan untuk bertelur. Namun siapa yang ketahuan mengganggu binatang-binatang ini, harus siap menanggung resiko sanksi tegas dari penjaga pantai.

Di tempat ini juga dibangun sebuah rumah panggung yang juga bisa digunakan untuk menginap. Bentuknya yang menghadap ke pantai, menjadikan orang bisa dengan nyaman menikmati keindahan Siung yang mempunyai hamparan pasir putih.
Bukan hanya penyu saja yang bisa dinikmati pengunuung pantai ini. Saat malam, ratusan kera ekor panjang turun dan bermain-main di pantai,. Kera jenis ini termasuk binatang yang dilindungi, sehingga menangkap atau membunuh mereka juga menjadi larangan keras.

Suing mulai dikenal sebagai tempat olah raga panjat tebing, ketika sekitar tahun 1989 sekelompok pecinta alamdari Jepang melakukan olah raga tersebut di tempat ini. Pada tahun 1990-an tempat ini juga menjadi ajang kompetisi Asian Climbing Gathering. Dan sekarang, lebih dari 200 titik telah menjadi jalur olah raga petualangan tersebut.

Pantai ini terletak sekitar 5 km dari wonosari, ibu kota kabupaten Gunungkidul atau sekitar 80 km dari kota jogja. Jika menggunakan angkutan umum, memang belum begitu mudah, karena angkutan umum hanya sampai kecamatan Tepus saja, sementara angkutan ke pantai belum ada. Jika menggunakan kendaraan pribadi lebih mudah. Apalagi jalur sampai ke pantai seluruhnya sudah di aspal.

Monday, June 23, 2008

Kampung Gudeg Wijilan

vacancy yogyakarta kampung gudeg wijilan yu djum pakansi gudeg yu djum barek slemanGudeg menjadi salah satu ikon tersendiri bagi Jogja. Dan jika bicara makanan khas yang berbahan utama nangka muda ini tidak bisa dipisahkan dengan daerah kampong Wijilan yang terletak di seberang timur Alun-alun Utara Kraton Jogja.

Wijilan mempunyai sejarah panjang hingga menjadi kampong gudeg. Pada tahun 1942, seorang perempuan bernama Bu Slamet untuk pertama kalinya mendirikan warung gudeg di daerah ini. Beberapa tahun kemudian warung gudeg di daerah itu bertambah dua, yakni warung gudeg Campur Sari dan warung gudeg Ibu Djuwariah yang kemudian dikenal dengan sebutan gudeg Yu Djum yang begitu terkenal sampai sekarang.

Ketiga gudeg tersebut mampu bertahan hingga 40 tahun. Sayangnya, sekitar 1980-an warung Campur Sari tutup dan baru 13 tahun kemudian muncul satu lagi warung gudeg dengan label gudeg Ibu Lies. Sampai saat ini warung makanan khas ini berjumlah puluhan buah.

Gudeg Wijilan memang bercita rasa khas, berbeda dengan gudeg pada umumnya. Gudegnya kering dengan rasa manis. Cara masaknya pun berbeda, yakni dengan merebus selama 24 jam dengan suhu 100 derajat celcius. Cara memasak seperti ini menjadikan gudeg wijilan bisa bertahan berhari-hari. Sehingga bagi anda yang berasal dari luar Jogja yang ingin membawa oleh-oleh gudeg tidak perlu khawatir akan basi.

Untuk mencapai daerah ini juga tidak terlalu sulit. Dari Alun-alun utara anda cukup naik becak atau dokar (andong) dengan tarif tidak lebih dari Rp 5.000.

Sebenarnya di Jogjakarta selain kampong Wijilan juga ada daerah lain yang juga merupakan sentra gudeg. Salah satunya adalah daerah Barek, sleman.

Uji Nyali di Masangin

vacancy yogyakarta alun-alun selatan pakansi jogjakarta berjalan diantara dua beringinMasangin atau masuk di antara dua beringin adalah permainan unik yang hanya digelar di Alun-alun Selatan Keraton Jogja, dan selalu dilakukan pada malam hari.

Cara permainan ini terlihat sepele. Seseorang dengan ditutup matanya berjalan dari pinggir utara Alun-alun Selatan. Orang tersebut kemudian berjalan kea rah selatan dan harus bisa lewat antara dua Beringin kurung yang terletak di tengah-tengah alun-alun tersebut. Jika berhasil melewati dua beringin itu, seseorang dinyatakan berhasil. Sebaliknya, dia dinyatakan gagal jika jalannya melenceng dari arah yang ditentukan.

Sekali lagi, permainan ini terlihat sepele dan mudah, apalagi jarak antara dua beringin kurung cukup luas yakni sekitar 15 meter. Tetapi, dalam pratiknya banyak yang gagal melakukannya. Banyak yang jalannya melenceng jauh dari dua beringin. Ada yang hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas. Bahkan ada yang justru berbalikarah menuju titik awal dia berjalan.

Tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa begitu sulit untuk menerobos dua buah beringinyang cukup luas tersebut. Tetapi ada pendapat kebersihan hati seseorang ikut menentukan berhasil atau tidaknya mereka melakukan Masangin. Jika hatinya bersih, dia akan berhasil. Sebaliknya jika hatinya tidak bersih, dia akan melenceng, semakin tidak bersih hatinya maka semakin sulit dah hanya berputar-putar.

Pada saat-saat tertentu ada panitia yang mengkoordinir acara ini. Tentu saja ada hadiah yang menarik bagi yang berhasil menang. Tetapi, jika tidak ada yang mengkoordinir, orang bisa mencoba sendiri tentu dengan pengawasan orang lain. Jika tidak membawa alat penutup mata, di tempat ini juga ada orang yang menyewakan dengan harga murah.

Selain bisa bermain, banyak hal yang bisa dilakukan di Alun-alun Selatan. Pada sore har, orang bisa merasakan naik bendi yang ditarik kuda poni berkeliling Alun-alun. Atau juga bisa naik gajah milik keraton Jogja. Malam harinya, orang bisa duduk santai sambil minum wedang jahe dan makan jagung bakar.

Museum Kereta, Garasi Angkutan Para Raja

vacancy yogyakarta museum kereta keraton yogyakarta pakansi jogjakartaMuseum Kereta berada tepat di sebelah barat Keraton dan hanya berseberangan jalan saja. Ada sekitar 23 kereta milik Keraton Jogja yang disimpan di museum seluas kurang lebih 1.400 meter persegi ini. Hampir semuanya merupakan buatan Eropa dan masih dianggap keramat.

Beberapa kereta yang disimpan di kereta ini antara lain Kereta Kyai Jongwiyat yang dibuat Belanda pada tahun 1880, atau pada masa HB VII. Kereta ini dipergunakan panglima perang untuk memeriksa pasukannya. Ditarik enam ekor kuda dan masih digunakan ketika HB X menikahkan putrinya.

Selain itu ada juga Kereta Kyai Jolodoro buatan Belanda pada tahun 1815, atau masa HB IV. Kereta Jolodro adalah kereta pesia dan dikendalikan empat ekor kuda. Sedangkan Kereta Rotobiru, buatan Belanda tahun 1901 pada masa Sri Sultan HB VIII dipergunakan untuk manggala yudha bagi panglima perang. Pada saat HB X menikahkan putrinya, kereta ini dipergunakan untuk mengangkut besan mertua. Kereta ini ditarik oleh 4 ekor kuda.

Yang paling dikeramatkan adalah Kereta Garuda Yeksa yang merupakan kereta kencana yang hanya dipergunakan untuk penobatan raja saja. Kereta ini buatan Belanda pada 1861, atau pada masa HB VI. Namun desainya sudah dibuat oleh HB I. Ditarik 8 ekor kuda yang sama baiknya warna maupun jenis kelaminnya. Sampai saat ini kondisi kereta seluruhnya masih asli termasuk lambang Burung Garuda-nya yang terbuat dari emas 18 karat seberat 20 kg.

Kereta lainnya adalah Kereta Mondro Juwolo yang dulunya dipakai oleh Pangeran Diponegoro. Kereta ini juga dibuat pada 1800 di Belanda dan ditarik enam ekor kuda. Kereta Kanjeng Nyai Jimad, buatan Belanda 1750 yang merupakan hadiah dari Spanyol, dipergunakan sebagai alat transportasi sehari-hari Sri Sultan HB I – III, kondisi seluruhnya masih asli.

Sedangkan kereta yang digunakan untuk mengangkut jenazah raja yang mangkat dari keraton ke makam imogiri adalah Kereta Roto Praloyo yang dibeli pada masa Sri Sultan HB VIII pada tahun 1938. Kereta ini ditarik delapan ekor kuda.

Gunung Gambar

Gunung Gambar yang terletak di Ngawen, kabupaten Gunungkidul, merupakan markas pertahanan RM Said atau dulu dikenal dengan Pangeran Sambernyowo. Nama itu begitu mengemuka saat rakyat Gunungkidul melawan VOC.

Banyak orang yang percaya sebuah batu besar di puncak gunung ini merupakan tempat Pangeran Sambernyowo melakukan semedi atau bertapa. Beberapa tapak di bebatuan yang ada di gunung tersebut konon diyakini sebakai bekas tapak kaki Pangeran Sambernyowo dan kudanya.

Dari sini sejarah, daerah Ngawen, sedianya menjadi bagian dari Surakarta. Namun, kemudian masyarakat memilih untuk bergabung dengan jogjakarta. Meski secara kultur memiliki banyak kesamaan antara masyarakat Ngawen dengan Solo. Salah satunya upacara pernikahan daerah ini bahkan yang lebih mirip dengan gaya Solo daripada gaya Jogja.

Obyek wisata yang terletak 39 km dari Wonosari atau sekitar 70 km dari Jogjakarta ini terus dikembangkan sebagai tempat wisata alam. Dengan tempat yang terletak 200 meter lebih di atas permukaaan laut, menjadikan pemandangan daerah ini begitu indah. Dari puncak gunung ini pengunjung bisa melihat rawa Jombor di Klaten serta genangan waduk Gajah Mungkur di kejauhan. Pada malam hari tidak jarang orang juga dating ke tempat ini untuk menyaksikan gemerlap Klaten dan Solo.

Selain sebagaitempat wisata alam,puncak Gunung Gambar juga masih sering digunakan untuk ziarah. Kebanyakan mereka justru datang dari daerah Solo. Mereka biasanya datang pada hari-hari tertentu dengan tujuan tertentu pula.

Untuk mencapai tempat ini bisa ditempuh dari Jogjakarta maupun dari Klaten. Jika dari Jogja, jalur yang ditempuh melalui Wonosari dan langsung ke Ngawen. Semntara dari sisi utara bisa masuk melalui Klaten dan langsung menuju ke Ngawen pula.

Rasa Khas Gudeg dan Tongseng Jamur

vacancy yogyakarta Rasa Khas Gudeg dan Tongseng Jamur pakansi jogjakarta jogjaDi dusun Niron, Pendowoharjo, Sleman terdapat rumah makan unik yang diberi nama Jejamuran. Sesuai dengan namanya, rumah makan itu memang menyediakan berbagai makanan dari bahan dasar jamur.

Makanan yang disediakan mulai sate jamur, tongseng jamur, jamur saus tiram, bahkan ada juga gudeg jamur.

Menurut Hendaryati, pemilik rumah makan jamuran mengatakan ide awal pembuatan gudeg jamur karena banyak jamur yang dikembangkan suaminya. Hasil budidaya jamur itulah yang kemudian diolah untuk keperluan rumah makan sekaligus untuk memasarkan hasil lainnya.

Pembuatan gudeg dari jamur lebih mudah dibandingkan dengan gudeg yang berbahan baku nangka. Jika gudeg biasa membutuhkan waktu berhari-hari untuk memasak, tetapi jamur cukup direbus kemudian esoknya sudah bisa dimasak.

Selain rasanya sama, gudeg dari jamur memiliki keunggulan yakni kandungan vitamin yang lebih banyak. Harganya pun juga cukup murah yakni hanya Rp 5.000/porsi. Gudeg jamur terasa semakin enak jika ditambah sambal goreng serta satu butir telur ayam.

Untuk mencapai daerah ini sangatlah mudah karena tidak jauh dari jalan Magelang tepatnya perempatan Turi. Dari Jogja bisa menggunakan angkutan umum jurusan Jogja – Tempel dan turun di perempatan Turi. Dari perempatan Turi tinggal jalan kearah utara sekitar 200 meter.

Nikmatnya Sate Klatak

vacancy Sate Klatak yogyakarta pakansi jogjakarta jogja never ending asiaSate Klatak, banyak terdapat di kabupaten Bantul, khususnya di Pasar Jejeran. Sate jenis ini memiliki banyak perbedaan dengan sate-sate yang biasa baik dalam cara memasaknya dan tentu saja cita rasanya.

Berbeda dengan sate kambing lainnya, sate ini hanya diberi garam saja. Meski sebagian orang biasanyajuga minta ditambah merica. Karena tanpa bumbu inilah yang justru menjadikan cita rasa sate klatak menjadi khas. Baunya benr-benar bau daging kambing. Yang unik, tusuk sate klatak tidak dibuat dari bambu atau kayu, tetapi menggunakan jeruji besi.

Memang harga sate klatak sedikit lebih mahal disbanding sate biasa. Satu porsi yang hanya dua tusuk, orang harus membayar 10 ribu rupiah. Tetapi jika sudah merasakan enaknya, orang tidak akan menyesal. Terlebih lagi, tempat makan dibuat santai dan menyenangkan. Orang tidak perlu risih berlama-lama di tempat ini untuk sekedar ngobrol.

Sate klatak sudah ada sejak lama di Bantul. Bahkan penjual yang ada sekarang ini mengaku sebagai generasi ketiga dari penemu sate klatak. Kenapa disebut klatak, sulit untuk menemukan sejarahnya. Ada yang menduga klatak berasal dari suara yang muncul ketika daging dibakar, tetapi ada juga karena menggunakan jeruji sepeda itu kemudian dinamakan demikian.

Letak Pasar Jejeran ini sekitar 7 km dari arah Makam Imogiri, atau sekitar 15 km dari kota jogja. Jika siang pasar ini berfungsi seperti biasa. Namun ketika malam, puluhan penjual sate klatak menggelar dagangannya. Asap yang mengepul dari beberapa warung sate menjadikan hasrat menjadi muncul.

Akhir-akhir ini sate klatak di Pasar Jejeran sudah mulai ada yang buka waktu siang hari sehingga memudahkan orang datang dan menikmatinya. Pada siang hari orang bisa mencapai Pasar Jejeran dari Jogjakarta dengan menggunakan kendaraan umum. Sementara jika malam, mau tidak mau orang harus menggunakan kendaraan pribadi, karena angkutan umum sudah habis saat sore hari.

Candi Sambisari

vacancy candi sambisari yogyakarta pakansi karyowinangunCandi Sambisari terletak di desa Sambisari kelurahan Purwomartani, sekitar 12 km dari pusa yogyakarta. Candi ini pertama kai ditemukan pada tahun 1966, oleh seorang petani bernama Karyowinangun yang tanpa sengaja cangkulnya membentur batu candi.

Dari hasil penggalian oleh balai Arkeologi Yogyakarta pada juli 1966 diperoleh kepastian daerah tersebut terdapat sebuah situs candi dan dinyatakan sebagai daerah suaka budaya. Pada tahun 1987 pemugaran rekontruksi ulang terhadap komplek candi dapat diselesaikan dengan posisi candi pada kedalaman 6,5 meter dari permukaan tanah sehingga candi ini juga sering disebut dengan candi bawah tanah. Berdasarkan penelitian geologis ditemukan unsure material gunung Merapi yang menimbun candi itu.

Candi Sambisari merupakan candi hindu dari abad ke-10 yang diperkirakan dibangun oleh seorang raja dari dinasti Sanjaya, dengan patung Shiwa sebagai mahaguru menempati bilik utamanya.

Komplek candi Sambisari saat ini tampak dengan empat buah bangunan candi dengan dibatasi oleh tembok yang mengelilinginya dengan total luas 50 x 48 meter paad posisi di sekeliling tanah yang telah diadakan penggalian. Pada bangunan candi utama yang terbesar memiliki ketinggian 7,5 meter dan berbentuk bujur sangkar yang berukuran 15,65 x 13,65 meter pada bagian bawah candinya, sedang badan candi berukuran 5 x 5 meter. Diperkirakan komplek candi tidak hanya seluas itu tetapi bisa lebih luas jika diadakan penggalian lebih lanjut, tetapi dikhawatirkan tidak dapat menyalurkan air untuk dibuang karena posisinya lebih rendah daripada sungai yang ada di sebelah baratnya. Pintu masuk ke dalam kompleks candi Sambisari pada keempat sisi bujur sangkar dengan menuruni tangga.

Untuk mencapai candi ini bisa dengan menggunakan bis jurusan Jogja – Solo dampai km 10 dan tinggal mengikuti petunjuk arah candi. Dari jalan Solo ini perjalanan masih 2 km lagi yang dapat ditempuh dengan naik alat transportasi local, seperti ojek.

Petilasan Panembahan Senopati

vacancy Petilasan Panembahan Senopati pakansi yogyakarta raja-raja mataramKotagede yang sering disebut juga Sargede terletak kurang lebih 5 km di sebelah tenggara Yogyakarta. Di kawasan ini wisatawan dapat mengunjungi makam Raja-raja Mataram seperti Sutawijaya atau Ngabei Loring Pasar, pendiri Kerajaan Mataram yang kemudian di gelari Panembahan Senopati.

Ada juga makam yang unik dari Ki Ageng Mangir, yaitu menantudan sekaligus musuh panembahan Senopati. Jasadnya dimakamkan di luar komplek. Seratus meter dari makam terdapat sebuah batu yang disebut Watu Gilang, yang digunakan untuk menghantam kepala Ki Ageng Mangir hingga tewas.

Kompleks makam terbagi dalam tiga bagian, yaitu masjid di sebelah timur, makam di sebelah barat dan sendang di bagian barat daya. Ketiga bagian tersebut dibatasi oleh pagar tembok dan dihubungkan dengan gapura. Pada halaman pertama ini terdapat prasasti yang berbunyi: Kanjeng Penembahan Senopati, bertahta Kerajaan Mataram, tahun Djinawal : 1509 Tahun Masehi: 1579, kubur Kotagede. Selain itu juga terdapat bangunan yang disebut dengan Bangsal Duda. Di halaman kedua, terdapat 4 buah bangunan, yaitu bangunan di sudut tenggara, timur laut, barat laut dan barat daya. Halaman ketiga, terdapat bangunan utama yang terdiri dari 3 buah bangunan yang disebut Bangsal Prabayaksa, Bangsal Witana dan Bangsal Tajug.

Bangsal Prabayaksa merupakan bangunan berdinding tembok di dalam bangsal ini terdapat 72 makam antara lain makam Panembahan Senopati, Sultan Seda Krapyak, Sultan Sepuh, Pangeran Adipati Pakualam I, Ki Ageng Mangir, PA II, PA III, dan PA IV. Khusus untuk makam Ki Ageng Mangir, sebagian berada di luar bangunan dan sebagian berada di dalam.

Bagi yang ingin masuk ke dalam makam harus mengenakan pakaian tradisional yang dapat disewa di tempat itu juga. Makam Raja-raja di Kotagede dibuka Senin dan Jumat pukul 10.00-1200 WIB.

Candi Gebang

vacancy yogyakarta candi gebang archa ganesha pakansi yogyakartaCandi Gebang pertama kali ditemukan oleh penduduk setempat pada November 1936, berupa sebuah Arca Ganesha. Dari penelitian selanjutnya ternyata Arca Ganesha tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu bagian dari sebuah bangunan berupa candi. Pemugaran Candi Gebang dilaksanakan pada tahun 1937 sampai tahun 1939 yang dipimpin oleh Van Romont.

Bangunan Candi Gebang berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 5,25 x 5,25 meter dan tinggi 7,75 m. Candi ini tidak mempunyai tangga masuk, tetapi ada yang menduga dulunya tangga terbuat dari kayu sehingga rusak.

Di dalam tubuh candi terdapat satu bilik dengan menghadap ke timur yang didalamnya terdapat Yoni. Di kanan kiri pintu masuk terdapat relung dengan Arca Nandiswara. Di sebelah barat terdapat relung yang diisi dengan Arca Ganesha yang duduk diatas sebuah Yoni menghadap ke utara. Sedangkan pada bagian puncak terdapat Lingga yang berada diatas seroja.

Candi ini memiliki sebuah keistimewaan yang tidak terdapat pada candi-candi Hindu yang lain. Keistimewaan itu antara lainpuncak candi berupa Lingga yang terdiri atas bunga Seroja, patung Ganesha di dalam bilik duduk di atas landasan yoni. Sementara di bilik utamanya yang biasanya di tempati patung dewa utama, di candi ini justru ditempatkan yoni.

Candi Gebang terletak di daerah Condongcatur, selatan desa Gebang, Ngemplak, Sleman kurang lebih 11 km dari pusat kota.

Latar belakang sejarah berdirinya Candi Gebang belum diketahui secara pasti. Dari cirri-cirinya secara jelas menunjukkan candi ini dekat dengan ajaran Hindu. Jika dilihat dari bentuk kaki candi yang mempunyai proporsi tinggi ini, menunjukkan Candi Gebang berasal dari periode tua antara 730 – 800 M.

Masjid Kotagede, Simbol Toleransi Beragama

Masjid Kotagede merupakan tempat ibadah tertua di Jogja. Dibangun sekitar tahun 1640-an pada jaman kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusuma. Ciri khas Hindu dan Budha masih tampak jelas mempengaruhi bangunan masjid ini seperti gapura yang berbentuk paduraksa.

Bangunan ini sebagai bentuk toleransi Sultan Agung pada warga yang ikut membangun masjid yang masih memeluk agama Hindu dan Budha. Ini bukti bahwa sikap toleransi sudah dibangun sejak lama di negeri ini.

Pada halaman masjid terdapat prasasti setinggi 3 meter. Namun prasasti ini justru dibuat oleh Paku Buwono X yang menunjukkan raja ini pernah merenovasi masjid tersebut. Sehingga bisa dikatakan masjid Kotagede mengalami dua tahap pembangunan. Tahap pertama yang dibangun pada masa Sultan Agung hanya merupakan bangunan inti masjid yang berukuran kecil. Bangunan kedua dibangun oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X. Perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh Sultan Agung dan Paku Buwono X ada pada tiangnya. Bagian yang dibangun Sultan Agung tiangnya berbahan kayu sedangkan yang dibangun Paku Buwono tiangnya berbahan besi.

Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan yang dikelilingi parit. Ciri masjid kuno memang adanya parit di sekitar masjid yang digunakan untuk wudu umat yang hendak masuk masjid.

Pada bagian serambi masjid, terdapat sebuah bedug yang umurnya diperkirakan sama dengan umur masjid. Bedug yang diberi nama Nyai Pringgit ini dibuat di Desa Dondong, Kulonprogo. Meski sudah tua, bedug Nyai Pringgit ini masih dibunyikan setiap waktu sholat tiba.

Mimbar yang terletak di dalam masjid juga masih merupakan mimbar asli. Mimbar ini merupakan hadiah dari seorang Adipati Palembang saat Sultan Agung mampir ke tempat ini seusai menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan bedug, mimbar ini sudah tidak digunakan lagi karena umurnya sudah tua sehingga dikhawatirkan justru rusak.

Untuk mencapai tempat ini tidak sulit. Tempatnya tidak terlalu jauh dengan terminal Giwangan. Dari terminal orang bisa menggunakan becak untuk mencapai tempat ini.