Watu Gilang, dari sini Mataram tumbuh besar
Situs Watugilang terletak di kawasan Kotagede, Jogja dan Bantul. Situs ini bisa ditemukan dengan menyusuri jalan dari Pasar Gede ke arah selatan kurang lebih 500 meter, melewati Kompleks Makam, dan Masjid Agung Kotagede hingga sampai pada sebuah bangunan yang berdiri di tengah jalan. Meski hanya sebongkah batu, situs ini mempunyai catatan sejarah penting dalam. perkembangan Mataram.
Bangunan ini dikelilingi pohon-pohon beringin dan sebuah hutan Mentaok. Sebelum dijadikan pusat kerajaan, daerah ini memang dikenal dengan sebutan Hutan Mentaok. Dalam bangunan ini terdapat Watu Gilang, Watu Gatheng, dan Watu Genthong.
Watu Gilang dipercaya merupakan batu singgasana Panembahan Senopati. Watu Gilang berbentuk persegi dengan ukuran sekitar 2 x 2 meter berwarna hitam. Di atasnya terdapat pahatan-pahatan tulisan dalam beberapa bahasa yang sudah sulit dapat terbaca lagi karena sudah terkikis.
Ceritanya, batu andesit hitam ini dibawa dari Hutan Lipuro yang kini dikenal dengan daerah Bambanglipuro, Bantul. Di atas singgasana batu inilah Kerajaan Mataram digerakkan oleh Panembahan Senopati. Pada sisi sebelah timur batu ini, terdapat cekungan. Cekungan ini konon muncul akibat dibenturkannya kepala Ki Ageng Mangir, musuh sekaligus menantu Panembahan Senopati, hingga tewas.
Ki Ageng Mangir sendiri merupakan musuh dari Panembahan Senopati. Untuk menaklukkannya, Panembahan Senopati melakukan taktik dengan mengirimkan Puteri Pembayun menjadi penari tayub untuk memikat Ki Ageng Mangir. Setelah Ki Ageng Mangir tertarik dan menikahi Puteri Pembayun mau tidak mau dia harus menghadap ke mertuanya yang tidak lain adalah Panembahan Senopati.
Saat Ki Ageng Mangir sungkem inilah ia kemudian dibunuh oleh Panembahan Senopati dengan membenturkan kepalanya ke singgasana Watu Gilang hingga ia tewas seketika.
Peninggalan lainnya adalah Watu Gatheng. Batu Gatheng adalah batu yang digunakan oleh Raden Ronggo bermain gatheng atau sejenis permainan bekel. Ada 3 buah bola, sebuah berukuran agak kecil berdiameter 15 cm dan dua buah berukuran besar berdiameter 27 cm dan 31 cm. Ada juga cerita Watu Gatheng adalah peluru meriam berukuran besar yang bernama Pancawura yang berada di Pagelaran Kraton Surakarta.
Benda peninggalan terakhir yang ada di situs ini adalah Watu Genthong yang terbuat dari batu andesit berbentuk seperti gentong padasan dengan diameter 57 cm yang digunakan oleh Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring, penasehat Panembahan Senopati, untuk mengambil air wudlu.
Kompleks situs ini berada di kampung Kedathon yang dipercaya merupakan pusat dari kerajaan Mataram Islam. Awalnya situs ini berada pada ruang terbuka, namun untuk melindungi situs ini dibangunlah suatu bangunan yang melindungi situs ini pada tahun 1934 atas perintah Hamengku Buwana VIII.
Bangunan ini dikelilingi pohon-pohon beringin dan sebuah hutan Mentaok. Sebelum dijadikan pusat kerajaan, daerah ini memang dikenal dengan sebutan Hutan Mentaok. Dalam bangunan ini terdapat Watu Gilang, Watu Gatheng, dan Watu Genthong.
Watu Gilang dipercaya merupakan batu singgasana Panembahan Senopati. Watu Gilang berbentuk persegi dengan ukuran sekitar 2 x 2 meter berwarna hitam. Di atasnya terdapat pahatan-pahatan tulisan dalam beberapa bahasa yang sudah sulit dapat terbaca lagi karena sudah terkikis.
Ceritanya, batu andesit hitam ini dibawa dari Hutan Lipuro yang kini dikenal dengan daerah Bambanglipuro, Bantul. Di atas singgasana batu inilah Kerajaan Mataram digerakkan oleh Panembahan Senopati. Pada sisi sebelah timur batu ini, terdapat cekungan. Cekungan ini konon muncul akibat dibenturkannya kepala Ki Ageng Mangir, musuh sekaligus menantu Panembahan Senopati, hingga tewas.
Ki Ageng Mangir sendiri merupakan musuh dari Panembahan Senopati. Untuk menaklukkannya, Panembahan Senopati melakukan taktik dengan mengirimkan Puteri Pembayun menjadi penari tayub untuk memikat Ki Ageng Mangir. Setelah Ki Ageng Mangir tertarik dan menikahi Puteri Pembayun mau tidak mau dia harus menghadap ke mertuanya yang tidak lain adalah Panembahan Senopati.
Saat Ki Ageng Mangir sungkem inilah ia kemudian dibunuh oleh Panembahan Senopati dengan membenturkan kepalanya ke singgasana Watu Gilang hingga ia tewas seketika.
Peninggalan lainnya adalah Watu Gatheng. Batu Gatheng adalah batu yang digunakan oleh Raden Ronggo bermain gatheng atau sejenis permainan bekel. Ada 3 buah bola, sebuah berukuran agak kecil berdiameter 15 cm dan dua buah berukuran besar berdiameter 27 cm dan 31 cm. Ada juga cerita Watu Gatheng adalah peluru meriam berukuran besar yang bernama Pancawura yang berada di Pagelaran Kraton Surakarta.
Benda peninggalan terakhir yang ada di situs ini adalah Watu Genthong yang terbuat dari batu andesit berbentuk seperti gentong padasan dengan diameter 57 cm yang digunakan oleh Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring, penasehat Panembahan Senopati, untuk mengambil air wudlu.
Kompleks situs ini berada di kampung Kedathon yang dipercaya merupakan pusat dari kerajaan Mataram Islam. Awalnya situs ini berada pada ruang terbuka, namun untuk melindungi situs ini dibangunlah suatu bangunan yang melindungi situs ini pada tahun 1934 atas perintah Hamengku Buwana VIII.
0 comment:
Post a Comment