Tuesday, September 2, 2008

Beringharjo, tumbuh bersama sejarah Jogja

Pasar Beringharjo tidak bisa dilepaskan dari Jogja. Selain merupakan pasar tradisional terbesar, Beringharjo juga tumbuh bersama sejarah kota ini.
Pembangunan Beringharjo terkait dengan keberadaan Keraton Jogja. Pola tata kota masa lalu selalu mencakup empat hal dalam hal pembangunan yakni Keraton sebagai pusat, alun-alun, tempat ibadah (masjid) dan pasar.
Pembangunan pasar ini dimulai sekitar 1758. Ini berarti tidak berselang lama dengan pembangunan Siti Hinggil Keraton yang dibuat pada sekitar 1756. Sebelum di jadikan kawasan pasar, daerah ini semula berupa hutan beringin. Hal inilah yang kemudian mendasari pemberian nama Beringharjo. Pemberian nama ini secara resmi baru dilakukan pada 24 Maret 1925 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada saat itu juga sudah mulai ada bangunan permanen. Sebelumnya di pasar ini hanya ada payon-payon atau bangunan tidak permanen yang digunakan para pedagang.
Pada akhir Agustus 1925, 11 kios telah terselesaikan, dan kemudian menyusul yang lainnya secara bertahap. Pada akhir Maret 1926, pembangunan pasar selesai dan mulai dipergunakan.
Sebulan setelah itu. Pada 1986 pasar yang juga dikenal dengan sebutan Pasar Gede ini pernah terbakar hebat dan menghabiskan beberapa bagian pasar. Pada gempa 2006 lalu, sebagian pasar, khususnya di lantai tiga juga rusak hingga saat ini pembangunannya belum tuntas.
Meski berstatus pasar tradisional, Beringharjo bisa dikatakan cukup modern. Dengan fasilitas ekskalator serta pusat perpembelanjaan bercirikan swalayan menjadikan ada semacam penggabungan antar aspek tradisional dan modern.
Salah satu yang menjadi daya tarik pasar Beringharjo adalah keberadaan pusat batik yang berada di lantai dasar. Bukan hanya batik corak Jogja dan Solo, batik dari Pekalongan juga banyak didapat di pasar ini. Sistem tawar menawar layaknya di pasar tradisional juga sah-sah saja dilakukan di tempat ini.

0 comment: